Lulus!

Weww! Sudah seabad rasanya gue gak update blog. Kalau diperhatikan, cuma seiprit tulisan gue selama gue merantau di ostrali. Kemana oh kemana saja dirimu, nis. Sampe sekarang udah balik ke indo baru ngeblog lagi. Beginilah nasib orang yang moody-an saat nulis dan somehow lebih sering gak memprioritaskan nulis blog dibanding urusan lain. Lah bahkan tulisan kelulusan aja baru diposting sebulan setelah pulang ke Indo.

Baiklah.

Jadi sekarang gue telah kembali ke tanah air. Alhamdulillah, kuliah gue (akhirnya) selesai dan gue sudah lulus. Iya, lulus. Bukan di-DO. Saking gak adanya berita wisuda ataupun foto-foto dengan atribut toga yang menandakan kelulusan, banyak juga yang mempertanyakan apa gue udah beneran lulus. Jadi sekalian gue ceritakan bahwa wisuda gue baru diadakan bulan November 2015 ini, sedangkan gue sudah lulus tengah Juli 2015. Berhubung sangatlah tidak ekonomis kalau gue bela-belain mendatangi perayaan wisuda, gue memutuskan tidak mengikuti wisuda dan balik ke indonesia akhir Juli 2015.

Sejujurnya, salah satu anugerah yang sangat gue syukuri adalah berhasil lulus dan mendapatkan gelar master dari perkuliahan gue. Jujur aja, gue sungguhlah dihantui perasaan takut luar biasa kalau gue tidak bisa menyelesaikan perkuliahan karena satu dan lain hal. Kuliah s2 gue ternyata sangat berbeda dengan s1. Dan masa-masa kejayaan s1 gue telah menghilang entah kemana. Mungkin juga kapasitas otak gue yang udah menyusut saat gue berkuliah kedua kalinya ini. Entahlah. Yang jelas gue sungguhlah penuh perjuangan menyelesaikan 3 semester perkuliahan ini.

Kenapa gue merasa berat sekali saat s2 ini?

1. Gue sama sekali belum terbiasa dengan sistem perkuliahan yang gue jalani. Sedikit banyak, gaya dan cara belajar gue masih meniru saat gue s1. Dan tentu saja itu salah besar. Seinget gue, gue gak pernah baca buku sebelum masuk perkuliahan dulu. Tapi saat s2 ini, sebelum masuk kelas gue harus selalu rutin membaca bahan yang diberikan dosen, mengerjakan studi kasus, mencoba menjawab contoh soal, dan ngeprint semua bacaan yang dibutuhkan. Still, pas perkuliahan ada aja penjelasan yang gue masih skip. Biasanya, ini karena beberapa dosen mengasumsikan ada “previous knowledge” yang sudah diketahui dan masih diingat mahasiswa karena sudah diajarkan sewaktu s1 atau bahkan waktu SMA. Cmon, i dont even remember what i had for breakfast.

2. Terkadang gue gagal paham dengan standar penilaian dosen. Saat kita udah berusaha kerjakan dengan sebaik-baiknya, eh tetep aja nilainya mungil. Padahal feedbacknya berbunga-bunga dan bertabur pujian. Ini gimana sih? Gue kan udah geer. Untuk yang satu ini caranya mungkin perlu cari tau sebaik mungkin yah ekspektasi sebenarnya dari bapak dan ibu dosen ini bagaimana. Dan usahakanlah memenuhi ekspektasi tersebut.

3. Gue sungguhlah tidak tau belajar finance kok ya sampai nyasar-nyasar ke fisika dan matematika yang njelimet begini. Waktu s1, gue belajar beberapa mata kuliah finance dasar semacam manajemen keuangan atau manajemen investasi. Dan gue bener-bener gak tau bahwa yang gue pelajari dulu ituh betul-betul dasar yang dasaaaarrr banget. Ibaratnya cuma nyolek-nyolek doang. Tertamparlah gue ketika menghadapi ragam jenis investasi ajaib yang memakai teori yang juga dipakai dalam teori fisika. HAH? FISIKA? becanda ngana.

4. Ini yang paling sering gue hadapi sih: apa yang gue pelajari gak keluar di ujian, dan yang keluar di ujian adalah yang gak gue pelajari. Atau paitnya, gue pelajari tapi gue lupa pas ujian! Masalahnya, di jurusan gue, nilai ujian punya bobot yang amatlah besarrrr. Jadi, gagal ujian bisa jadi gagal segalanya. Disini gue paham sekali perasaan dedek2 SMA yang geram dengan UN. Hasil belajar lama cuma ditentukan oleh ujian beberapa hari. Gue dan teman-teman sekelas pernah mendapat ‘zonk’ dalam sebuah mid exam dimana satu pertanyaan dengan bobot sangat besar berisi pertanyaan yang sungguh tidak kita sangka. Alhasil, lembar jawaban hanya terisi untaian puisi atau ucapan maaf kepada sang dosen akan kekhilafan kita. Kapok, akhirnya kami memutuskan membaca semua bahan sampai detail untuk final exam. Sampai ketika ditanya, “so which one do you read for final?” merujuk pada bahan jurnal mana yang kita baca saking banyaknya jurnal yang dibahas saat perkuliahan, dan jawabannya, “i read them all, ask me anything!”.

5. Tugas yang menumpuk dalam satu waktu diiringi deadline yang berderet. Asli, yang ini bikin stres banget. Kadang, gue merasa ini gak adil deh. Kenapa jurusan gue ada tugas pribadi, ada tugas kelompok, ada essay, dan ada ujian juga?? Sedangkan jurusan dan fakultas sebelah biasanya kesibukannya bisa terbagi. Kalau banyak assignment, ya bisa tenang di akhir karena gak ada ujian. Atau kalau ada ujian, gak ada assignment yang perlu dikumpulkan. Hih. Jekpot sekali ini.

Ada sih masa dimana kita cukup berbangga berkuliah di jurusan accounting & finance terbaik di australia dan no.12 di dunia*. Semacam keren gitu ya. Tapi makin lama………makan tuh bangga. Bangganya sebentar, kesiksa nya lama. Tapi yah, segala sesuatu itu, kalau dapetinnya pake perjuangan, rasa syukurnya akan jauh lebih berlipat. Apapun yang didapatkan, semua sudah gue lakukan dengan effort sebaik yang gue bisa. Alhamdulillah semua cuma kekhawatiran gue dan ketika nilai akhir kuliah finally rilis, rasa leganya luarrr biasah sodara-sodara!

Jadi, kisah gue di ostrali memang banyak mengharu biru di soal perkuliahan, dan hepi-hepi di soal yang lainnya. Walaupun hectic, paling hanya di minggu deadline atau masa ujian dimana gue harus stuck setiap harinya dengan buku dan kertas. Di minggu lain, gue selalu menyempatkan diri untuk (at least) take one day off dalam seminggu dari belajar. Dan hari itu biasanya gue isi dengan jalan-jalan, belanja, masak, atau apa aja yang bikin kepala rada ringan. Gue senang sekali karena dengan begitu hidup gue kerasa lebih balance.

Gak dipungkiri, masa-masa dimana gue jenuh, kewalahan, pusing, patah hati semangat, kadang gue mempertanyakan, “ngapain ya gue kesini? nyusah-nyusahin diri aja!”, untungnya sering banget temen-temen gue mengingatkan bahwa kesempatan kuliah di luar negeri itu bukan kesempatan yang bisa didapatkan semua orang. Jangankan kuliah di luar negeri, kuliah itu sendiri aja jadi barang mewah bagi sebagian besarĀ anak muda di negeri kita. Jadi apapun kondisinya, jangan sampai keluhan keluar lebih banyak dari mulut kita dibanding ucapan syukur.

Well, setelah selesai kuliah, as i expected, moving back to indonesia is another hard thing. Even a harder one. People said, it’s easier to adapt when you arrive in sydney than once you have to go back to indo. Gue yakin kehidupan di indo akan lebih sulit dibanding ketika dulu kuliah di sydney. Iya sih. Telan lah semua kemudahan yang gue dapatkan disana. Kini gue harus kembali ke realita, mengasah diri jadi manusia tahan banting dengan kemampuan bertahan hidup lebih besar. KRL, jalanan macet, asep knalpot, penyeberangan dengan resiko diserempet motor, keganasan buibu di gerbong wanita, antrian busway mengular, HERE I COME!

 

*based on QS university ranking by subject 2015

resize