My Sweet Escape

“Lo mau ke sana? Kapan?”

“Iya. Sore ini.”

“Sama siapa?”

“Mungkin sendiri.”

“Kalau bisa ajak temen aja, jangan sendirian.”

Bila kita perhatikan langit, tidak selalu awan itu tipis berwarna putih. Ada kalanya ia kelabu. Menggelapkan. Dan bila tiba saatnya, ia akan menjatuhkan apa yang memberatkannya. Meluruhkan. Saya memutuskan pergi ke kota itu. Sore ini juga. Tanpa persiapan. Tanpa rencana. Nekat. Ada yang harus saya selesaikan bersama Tuhan saya.

 ☼ ☼ ☼

Saya sudah duduk manis di dalam kendaraan yang akan membawa kami ke kota itu. Di samping saya, seorang sahabat yang baik hatinya menemani saya. Seorang sahabat yang saking baiknya tidak banyak bertanya ketika saya ‘culik’ sore itu, bahkan bersedia membatalkan agenda yang seharusnya dihadirinya. Kita pergi ke kota itu, tanpa penjelasan dan kejelasan.

“Maaf ya, aku gak bawa makanan atau snack-snack. Gak kepikiran….

….air minum juga gak bawa.”

Ia hanya mengangguk. Santai aja. Penumpang lain mulai merapatkan jaketnya masing-masing. Kendaraan berjalan. Pendingin bekerja maksimal membungkus kendaraan besar itu. Mendinginkan bersama malam yang semakin pekat.

“Aku juga bahkan gak bawa jaket.”

Sambil tertawa saya menyadari hal bodoh tersebut. Nggak apa-apa, nanti kan kita bisa gantian. Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran sahabat saya tersebut. Tapi ia tidak banyak bertanya. Walau sepanjang perjalanan ia hanya melihat saya begitu terus. Tidak mendesak. Hanya berbisik, “Would you like to share?”. Saya hanya membalas tersenyum, “If i’m ready”. Ia pun sabar walau tidak ada kejelasan dalam perjalanan ini. Nanti kita setelah turun gimana? Dari situ naik apa? Pulangnya lewat mana? Naik apa? Semua saya jawab dengan satu jawaban: enggak tahu. Ia tidak keberatan, bahkan menguatkan. Nggak apa-apa, nanti kita bisa cari bareng-bareng.

Pukul 22.00. Kami turun dari kendaraan, telah berada ratusan kilometer dari Jakarta. Allah sangat baik. Seorang kenalan lama yang mengetahui saya akan ke kota itu bersedia menjemput. Mengantarkan kami kesana. Tentu saja ia tahu kami ingin kesana.

Pukul 23.00. Setelah mengucapkan terima kasih banyak-banyak, kami turun. Angin dingin khas kota itu menyapa. Menusuk tubuh yang hanya berlapis baju tipis namun sejuk menerpa wajah. Saya sudah disini. Ah, bukankah sejak lama saya merencanakan ingin kesini. Tapi rencana hanya rencana, selalu kalah dengan prioritas kesibukan duniawi. Kali ini saya akhirnya berkesempatan datang lagi. Kami kemudian masuk, mengambil wudhu dan sholat. Kami bahkan belum sholat Magrib.

Ah, semoga semua urusan bisa diselesaikan malam ini.

Satu per satu orang di lantai itu merebahkan diri. Beristirahat. Ini memang sudah lewat tengah malam. Saya mengikuti mereka. Terpejam. Tapi tidak bisa tidur. Dingin tetap terasa menusuk di ruangan itu. Kami memakai jaket bergantian. Rasanya sudah tidur berjam-jam, ketika melihat hp, ternyata baru setengah jam. Tidak bisa tidur lagi. Turun ke bawah. Berwudhu.

Saya kemudian mulai sholat. Sungguh saya sebenarnya ingin mengadu. Ingin menumpahkan semuanya pada Nya. Ingin berbicara panjang-panjang. Tapi Tuhan selalu bisa menunjukkan jalan dengan cara yang menakjubkan. Dan bila Ia berkehendak, maka ia bisa masuk ke dalam hati, pikiran, lisan-lisan kita, mengarahkan dan menunjukkan pengajaran apa yang ingin Ia sampaikan dalam setiap ujian yang kita terima.

Sebelum saya mengadu, bercerita, atau apalah, saya malah terbayang mereka. Wajah-wajah yang begitu baik pada saya, yang hadir membantu saya dalam situasi-situasi sulit. Saya teringat seorang sahabat saya di kantor,

“Lo bawa voucher hotel ini ya.”

Ia menyerahkan selembar voucher kamar gratis di salah satu hotel berbintang di kota yang akan saya datangi, sebelum saya berangkat ke kota ini,

“Gue kan mau tidur di….”

“Nggak apa-apa, buat jaga-jaga aja.”

Kemudian saya teringat kerabat lama yang bersedia menjemput kami yang tidak tahu arah dan jalan. Malam-malam. Di saat orang lain bisa saja memilih bersantai di rumah, menutup pintu dari dinginnya angin malam kota itu. Orangtua yang tidak putus kontak. Sahabat-sahabat yang setia dan selalu ada, yang di sini dan tidak pergi. Yang selalu memastikan saya baik-baik saja. Pelukan-pelukan virtual itu. Nasihat-nasihat itu. Saudari yang mau menemani. Teman yang memberikan nomer telepon dua perusahan taksi di kota itu, untuk jaga-jaga kalau butuh order, katanya.

Ya Tuhan, saya benar-benar disadarkan bahwa saya dikelilingi oleh banyak sekali orang baik. Orang yang peduli terhadap saya. Orang yang mau membantu. Berbagi perhatian. Saya disadarkan, saya tidak patut mengeluh. Saya tidak perlu mengadu. Allah sudah tau, bahkan sebelum saya tau. Allah hanya ingin saya bersyukur. Lagi dan lagi. Terus dan terus. Allah ingin menambahkan nikmat-Nya untuk saya, sebab itu saya harus bersyukur.

Saya kemudian teringat nasihat seorang guru, ”tugas manusia itu hanya bersyukur dan bertaubat. Sisanya biarkan Allah yang mengurus”. Subhanallah…. Lupakah saya? Mungkin saya luput bersyukur, jarang bertaubat. Allah antarkan saya kesini lagi. Untuk bisa introspeksi diri. Untuk membayar kesalahan-kesalahan saya.

Pukul 04.00. Sepanjang malam saya merasa Allah membimbing dengan jalan yang saya tak pahami, tapi saya rasakan. Allah ingin saya kesini bukan untuk bersedih. Tapi bersyukur. Sesederhana itu. Apalah gunanya tawa jika membuat kita lupa, mungkin air mata yang membuat kita takwa adalah lebih baik. Lebih berkah. Bukan masalah senyum atau tangis, tapi mana yang bisa membuat kita lebih mendekat dengan-Nya.

Allah sangat baik. Ia masuk ke hati-hati kita, dengan lembut mengangkat kesedihan. Melenyapkan. Mengganti dengan rasa tenang. Mengisyaratkan satu pesan, kau harus lebih banyak bersyukur, dan kali ini, ada tambahan pelajaran tentang keikhlasan. Lalu apalah ruginya sebuah ujian, bila dengannya kita bisa melangkah mendekat dengan-Nya, menjadi lebih dewasa, tumbuh dengan penerimaan hidup, berjanji akan menjadi manusia yang tidak menyakiti orang lain.

Pagi di kota ini. Sejuknya menenangkan. Dinginnya menyenangkan. Saya sudah selesai. Secara fisik bisa jadi saya sakit, tapi jiwa saya lebih tenang. Allah lebih dari sekadar mengabulkan doa saya. Dan saya jauh dari sekadar bahagia karenanya.

3 thoughts on “My Sweet Escape

Leave a reply to Medina Ayasha Cancel reply